-->

Saturday, August 6, 2016

STANDAR GANDA PARA PENGANJUR DEMOKRASI PASCA GAGALNYA UPAYA KUDETA DI TURKI

Peta Turki
Ilustrasi – Peta Turki di antara negara-negara di dunia. (ontheworldmap.com)
Oleh: Dr. Sitaresmi S Soekanto, M.Psi.T

PORTALBANDUNG.COM
-- Pasca gagalnya upaya kudeta militer tanggal 15 Juli yang lalu, pemerintah Turki segera mengambil langkah-langkah tegas dengan membersihkan instansi-instansi pemerintahan dari anasir-anasir pelaku kudeta yang diduga kuat memiliki keterkaitan erat dengan jaringan Gulen yang dipimpin oleh Fethullah Gulen dari AS. Penutupan sekolah-sekolah dan bimbingan belajar milik jaringan Gulen dan membatasi kebebasan pers yang juga dimiliki jaringan Gulen. Gerakan Gulen selain bergerak di bidang pendidikan dan pelayanan masyarakat yakni Hizmet, juga terjun di bisnis media dan perbankan.

Maka tuduhan dan tudingan terutama dari Barat adalah bahwa pemerintahan Erdogan telah bersikap otoriter dan anti demokrasi. Demikian pula hal itu berimbas ke Indonesia yang juga menimbulkan protes dan tuduhan bahwa pemerintah Turki dalam hal ini Presiden Turki bersikap otoriter dan anti demokrasi serta mencampuri urusan negara lain. Sebab sebelumnya memang ada permintaan dari pemerintahan Turki agar pemerintah Indonesia juga menutup jaringan sekolah Gulen di beberapa kota di Indonesia.

Core problem

Apakah benar Turki dengan tindakan tegas yang dilakukan pemerintahan Erdogan pasca Kudeta menjadi otoritarian dan anti demokrasi? Untuk bisa menjawab hal tersebut ada baiknya kita membahas lebih dulu teori tentang demokrasi dan bagaimana relasinya dengan Islam serta dengan gerakan atau partai Islam.

Islam dan Demokrasi

Robert W Hefner melakukan penelitian untuk melihat relasi antara Islam dan demokrasi dengan studi kasus Indonesia. Apa kaitan antara Islam dan demokrasi? Apakah Islam sejalan dengan demokrasi atau sebaliknya? Bagaimana bentuk kontribusi Islam pada demokratisasi di Indonesia pada masa datang? Pertanyaan-pertanyaan tersebut diajukan Hefner saat meneliti kaitan antara Islam dan Demokrasi dan praktiknya di politik Indonesia. Membedah wacana Islam dan demokrasi tentu saja tidak bisa lepas dari konstelasi politik, negara, kekuasaan, dan pemerintahan di satu sisi, serta relasi antara Islam dengan entitas lain di luar Islam, di sisi yang lain. Islam yang dimaksudkan bukanlah sebuah basis nilai dan ajaran yang sama dan tunggal, melainkan Islam yang bisa dilihat dan dirasakan dari ekspresi para pemeluknya, sehingga sudah pasti berwajah banyak. Demikian pula ekspresi politik Islam amat beragam dan dalam kenyataannya Islam kadang sejalan dengan demokrasi, tapi kadang juga berseberangan. [1]

Robert W Hefner mengajak untuk meletakkan wacana “demokrasi” pada proporsinya yang pas karena hingga sekarang, demokrasi — yang antara lain berisi nilai-nilai pluralisme, kebebasan, persamaan, keadilan, toleransi, dan partisipasi — di satu sisi mengagumkan banyak orang, tapi di sisi lain juga mengundang skeptisisme. Kelompok yang skeptis biasanya memandang demokrasi sebagai wacana yang berasal dari Barat, yang tentu saja tidak mungkin sesuai dengan budaya lain di luar Barat. Dalam dua titik ekstrem sikap terhadap demokrasi, baik yang menerima secara utuh maupun menolaknya, maka biasanya muncul “jalan tengah” yakni sikap kritis untuk belajar dari nilai-nilai demokrasi yang berasal dari Barat dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Hal yang bisa dikontekstualisasikan dengan budaya lokal bisa dipakai, sementara yang tidak bisa dikontekstualisasikan dengan budaya lokal sebaiknya ditepiskan. Jadi kunci formulanya bukanlah peniruan atau westernisasi, melainkan dialog dan kontekstualisasi.

Menurut Hefner, beberapa pemikir muslim telah punya opini bahwa suatu perspektif dialogis lintas kultural adalah titik masuk yang lebih baik untuk memaknai demokrasi modern. Apalagi kemungkinan aplikasi demokrasi tidaklah tunggal melainkan beragam dan dibangun berdasarkan intervensi strategis pada beberapa pilar demokrasi yaitu asosiasi sipil, pers, dan peradilan bebas, distribusi kesejahteraan dan kesempatan yang merata dan tentunya pula dukungan publik terhadap rakyat dan pimpinan yang memiliki komitmen terhadap tujuan ini. Menurut Hefner, tidak ada satu bentuk demokrasi yang cocok untuk semua situasi dan lokasi, melainkan banyak variannya.

Hefner melakukan penelitian panjang – baik riset pustaka, lapangan, dan interviu – sepanjang tahun 1991-1998, dan dari sini ia mencoba menarik kesimpulan umum tentang bagaimana politik Islam bekerja, dan bagaimana hal itu berhubungan dengan proses demokratisasi. Ia juga memperlihatkan kelebihan dan kekurangan Islam dalam pentas politik, kekuasaan, pemerintahan, dan negara. Dalam kurun waktu tertentu, Islam di Indonesia sesuai dengan nilai-nilai demokrasi, tapi dalam momen sejarah lainnya Islam berseberangan atau bahkan bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi. Menurut Hefner, politik Islam tidak monolitik melainkan plural[2]. Inilah tesis penting untuk menelaah Islam dan demokratisasi di Indonesia. Islam begitu kaya warna dan banyak wajah, sehingga tidak selalu bisa dipetakan secara baik dan representatif. Dan analisis terhadap faktor Islam kaitannya dengan proses demokratisasi di Indonesia sangat penting karena Muslim merupakan populasi mayoritas di Indonesia, bahkan Indonesia adalah negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia.

Di era Soekarno, di satu sisi, Islam kadang mendukung dan menjadi bagian dari kekuasaan, sementara di sisi lain kadang menentang dan berada di luar kekuasaan. Pola seperti ini juga kita temui pada era Soeharto. Bahkan, jika dicermati, juga terjadi pada pemerintahan sesudahnya, yakni Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati. Fragmen sejarah Islam dan demokratisasi cukup penting — terutama di masa rezim Soeharto —. Dalam konteks relasi dan tarik menarik antara Islam (lebih tepatnya “pemeluk Islam”) dengan rezim kekuasaan, maka rezim kekuasaan tampaknya memainkan peran yang lebih dominan. Ini bisa dimaklumi karena kekuasaan punya power coersive. Rezim kekuasaan sering kali bertindak pragmatis. Demi mempertahankan kekuasaannya, maka rezim kekuasaan baik di zaman Soekarno maupun Soeharto melakukan manuver apa saja: kadang merangkul, tapi kadang juga memberangus Islam.

Wacana yang cukup penting dalam konteks demokratisasi bangsa dan selalu terulang pada berbagai fase sejarah tanah air, sebagaimana diuraikan Hefner adalah dialog, debat, bahkan pertikaian, antara komunitas Islam literalis dengan komunitas sekuler. Dalam konteks ini, jika ditarik dalam fenomena yang lebih luas dan umum, menurut Hefner, selama dekade awal abad ke-20, gagasan nasionalisme merupakan fokus perdebatan politik paling seru di dunia Islam. Lebih dari seabad umat Islam bergumul dengan persoalan bagaimana mempertemukan politik Islam dengan gagasan kebangsaan dan kewarganegaraan. Ini kian terbukti pada akhir abad 20, tulis Hefner, dalam pertarungan antara nasionalisme sekuler dan nasionalisme Islam[3].

Menurut Hefner di masa depan Islam dapat memberikan kontribusi terhadap demokrasi, dapat juga tidak, sebagaimana di satu sisi Islam bisa sejalan dengan demokrasi, tapi di sisi yang lain bisa juga bertentangan. Hal ini sangat tergantung pada bagaimana Islam diekspresikan oleh para pemeluknya. Warna Islam sedemikian banyak dan beragam, sehingga persentuhan Islam dengan demokrasi, politik, negara, pemerintahan, dan masyarakat manusia di luar Islam pun, bisa sangat banyak ragamnya. Lebih dari kenyataan itu, menurut Hefner, sejarah tidak pernah berakhir, tidak ada kemenangan idealitas demokrasi yang definitif. Zaman yang akan menguji apakah dengan demokrasi akan lebih baik atau lebih buruk, dan sejarah yang akan memutuskan yang bisa jadi berbeda-beda di tiap negara.

Bila Hefner mengatakan bahwa belum tentu sistem demokrasi yang terbaik sebab hal itu tergantung di mana dan kapan diberlakukannya sistem tersebut, maka ilmuwan lainnya yakni Fealy dari Australia menyoroti sisi buruk demokrasi yakni adanya standar ganda dan dilema demokrasi dalam penerapannya terutama di dunia Islam. Bahwa di suatu saat menurut Fealy, negara-negara Barat akan mendiamkan praktik pelanggaran HAM di negeri-negeri Muslim jika menguntungkan kepentingan mereka. Sebaliknya mereka akan bersuara lantang tentang suatu pelanggaran kecil jika itu terjadi di negeri Muslim yang menjadi ancaman bagi mereka. Pemerintah Barat khususnya AS telah dikenal sebagai negara penganjur demokrasi yang memiliki standar ganda. Sehingga salah satu masukan Fealy berkaitan dengan implikasi kebijakan yang mesti diambil setelah memahami lebih jauh dan dalam tentang Islamisme adalah agar pemerintahan Barat atau pengamat pada umumnya membuat kategorisasi yang lebih beragam atas kelompok-kelompok Islamis dan neofundamentalis. Fealy sekaligus menegaskan bahwa menurutnya Islamisme tidaklah monolitik. 1. Gerakan Islamis dan neofundamentalisme memiliki pendekatan yang beragam terhadap politik. 2.Mereka juga sering melakukan proses penyesuaian dan pribumisasi atas gagasan-gagasan rekaan Islamis mereka dari luar.[4]

Fealy juga menegaskan bahwa kategori-kategori tradisional tentang Islamisme yakni radikal dan konservatif, belum tentu benar, karena hal tersebut tidak bisa dilihat secara hitam-putih. Misalnya ide Ikhwanul Muslimin tentang transformasi masyarakat sungguh radikal, namun ternyata mereka menempuh cara yang konservatif atau yang biasa digunakan banyak pihak. Sebaliknya pandangan Al-Qaeda sangat konservatif dalam keyakinan dasar Salafinya, namun menggunakan cara yang militan dan radikal dalam realisasinya. Fealy juga tidak setuju pada labelling Islam radikal atau moderat karena bisa meredusir makna yang sesungguhnya dan menimbulkan konotasi baik dan buruk atau ramah dan garang.

Maka kesimpulannya menurut Fealy, asumsi mengenai inkompatibilitas Islam dengan demokrasi sepatutnya tidak dipertahankan, sebagaimana juga dampak positif partisipasi partai-partai Islamis yang berhasil dalam proses demokratisasi seyogianya tidak dipandang sebelah mata. Menurut Fealy evolusi Islamisme di Timur Tengah selalu terefleksikan juga dalam perubahan-perubahan yang terjadi di negeri-negeri Muslim pada umumnya termasuk di Indonesia dalam bidang politik, sosial dan ekonomi. Banyak kelompok Islamis, yang pada masa lalu terlibat pertentangan sengit dengan masyarakatnya sendiri kini mengupayakan integrasi politik dan mendukung penguatan demokrasi politik.

Dalam realitasnya di lapangan misalnya di Turki, perbedaan pandangan dan cara menyikapi demokrasi telah membuat Presiden Erdogan bersimpang jalan dengan Ahmet Davutoglu yang kemudian memilih mundur dari jabatan PM. Perbedaan paling krusial adalah terkait masalah perbedaan paradigma ideologi Islam antara Erdogan dan Davutoglu. Mengingat jangka waktu yang semakin dekat dengan tahun kebangkitan Turki 2023 , persoalan perbedaan paradigma ideologi Islam antara Erdogan dan Davutoglu memang menjadi sebuah masalah serius. Erdogan menganggap jalan demokratisasi di Turki selama ini adalah sebuah strategi dan ia tetap kuat pada cita cita mendirikan kembali Khilafah Islamiyah dalam pengertian modern di Turki, sementara bagi Davutoglu, seorang Doktor ilmu politik dan hubungan internasional, demokrasi adalah prinsip yang harus diikuti secara konsisten. Perbedaan starting point dan paradigma tersebut juga menyebabkan mereka berbeda dalam penyikapan prospek kebangkitan 100 tahun Turki atau kelahiran kembali Khilafah Turki. Erdogan maupun Davutoglu memiliki paradigma masing-masing tentang kejayaan Turki. Dengan istilah lain Erdogan dan Davutoglu tidak memiliki shared vision tentang Kebangkitan 100 tahun Turki.

Bila Davutoglu baru menyadari bahwa dalam tahun-tahun ini Erdogan semakin menunjukkan karakter Islamisnya, sebenarnya sejak Pemilu 2011, Erdogan sudah menunjukkan awal pergeseran pendulum ideologinya seperti tampak dalam pidato kampanyenya di Chengelkov, Uskudar, Istanbul, dalam kampanye terakhir pada hari Sabtu, 11 Juni 2011. Recep Tayyip Erdogan yang saat itu masih menjadi Perdana Menteri dan Ketua Umum AKP mengatakan sebagai berikut: “Warna bendera kita adalah darah para syuhada, bulan sabit dan bintang adalah simbol para syuhada kita. Lalu mengapa kaum separatis (BDP) yang sama sekali tidak pernah memikirkan kebersamaan dan persatuan menggugat semua itu? Saudara-saudaraku, tentang para separatis apa yang mereka lakukan? Adzan dengan bahasa Turki, adzan dengan bahasa Kurdi, apapun mereka, CHP (partai oposisi utama) lama atau CHP baru sama saja. Tidak ada perbedaan tentang tujuan CHP. Pada tahun 1932, apa yang telah mereka lakukan? Mereka membuat peraturan Adzan dengan bahasa Turki, saudara-saudaraku yang saya cintai. CHP dan BDP adalah sama, tidak ada beda. Saudaraku, adzan kita bukan adzan lokal, bukan adzan khusus, adzan kita adalah “Allahu Akbar”. Ke manapun kita pergi di dunia ini suaranya akan sama seperti itu. Kalian tidak akan mendengar dalam versi bahasa Inggris, atau bahasa Jerman, atau Melayu. Kalian tidak akan mendengarkannya. Satu suara yang sama, yaitu dengan bahasa sunnah. Tidak boleh ada spekulasi dalam hal ini.”[5]. Bahkan dalam pidato kemenangannya di Pemilu 2011, Erdogan juga mengatakan dengan gamblang sesungguhnya Kaukasus, Balkan, Eropa, dan Timur Tengah juga telah menang seperti halnya Turki. Kemenangan AKP adalah kemenangan 1,7 milyar umat.[6]

Senada dengan pandangan Erdogan tentang demokrasi, Hilmi Aminuddin, pendiri gerakan dakwah Tarbiyah yang melahirkan PK dan PKS menegaskan bahwa gerakan Islam tidak melakukan approaching secara ideologis terhadap demokrasi, melainkan lebih merupakan pendekatan dan pemanfaatan peluang agar ada keleluasaan bergerak, karena di era demokrasi setiap warga negara berhak mengekspresikan dan mengaktualisasikan dirinya dalam suatu kompetisi damai. Sebab sangat disadari bahwa gerakan Islam tidak akan bisa memperoleh kebebasan bergerak ketika dipimpin oleh rezim otoriter baik sipil maupun militer. Namun di era demokrasi, kebebasan diberikan baik bagi semua pihak sehingga dituntut untuk selalu berkompetisi. Oleh karena itu menurut beliau hendaknya gerakan Islam menghentikan perdebatan ideologis soal demokrasi dan sebaliknya segera memanfaatkan peluang yang ada. Demokrasi adalah sarana sebagaimana kekuasaan adalah juga sarana sehingga bukan kekuasaan yang menjadi tujuan sebuah gerakan atau partai Islam.[7]

Analisis

Penyebab Konflik Gulen-Pemerintah Turki
Mencuatnya konflik antara pemerintah Turki dengan tokoh sentralnya adalah Presiden Erdogan menjadi tokoh sentral dengan Fethullah Gulen bermula di ranah pendidikan yakni sejak pemerintah Turki mengeluarkan kebijakan konversi lembaga bimbingan belajar (bimbel) menjadi college yang mengikuti kurikulum nasional. Sementara gerakan Gulen yang mengelola banyak bimbel yakni lebih dari 70% dari keseluruhan bimbel Turki, menolak kebijakan tersebut dan melakukan perlawanan terbuka dengan pemerintah.

Menurut Andhika, master sosiologi agama, dari Marmara University, alasan pemerintah Turki mengeluarkan kebijakan mengonversi bimbel menjadi college dituturkan Erdogan adalah untuk mengurangi beban rakyat. Erdogan menawarkan jika memang Gulen mampu bergerak di bidang pendidikan hendaknya mendirikan sekolah atau college sehingga rakyat yang berkeinginan bersekolah di sekolah swasta Gulen tidak mengeluarkan biaya dua kali yakni membayar sekolah swasta dan juga bimbelnya. Pemerintah Turki juga menyatakan sanggup menyediakan support infrastruktur berupa lahan dan support operasional berupa biaya dan tenaga pendidik. Namun gerakan Gulen menentang dengan tegas kebijakan tersebut yang mereka anggap menghambat kebebasan ruang gerak mereka. Banyak orang yang menganalisis penolakan Gulen atas kebijakan tersebut disebabkan selama ini bimbel telah menjadi pintu dan wadah rekrutmen serta sumber dana bagi gerakan ini mengingat biaya bimbel sangat mahal.

Melihat konflik yang sudah berkembang menjadi seolah perang terbuka, maka 97 Ormas dan LSM di Turki mengeluarkan pernyataan bersama yakni meminta gerakan Gulen lebih tenang dalam menanggapi kebijakan ini. Para Ormas dan LSM tersebut menilai penolakan keras Gulen terhadap kebijakan tersebut memperlihatkan gejala “perang” sehingga dikhawatirkan memicu ‘chaos’. Mustafa Karaalıoğlu, seorang jurnalis di surat kabar Star memberi penekanan dan menggaris bawahi pernyataan yang ditujukan kepada gerakan Gulen tersebut bahwa pernyataan atau himbauan mereka kepada Gulen adalah suara ormas-ormas besar seperti Jamaah İsmailağa, Menzil, Erenköy, Akabe Vakfi, Hudayi Vakfi, Safa Vakfi, Sami Efendi, Barla Platformu. Selain itu juga ikut ditandatangani oleh lembaga bantuan kemanusiaan seperti IHH, Yardımeli, Verenel, Turkiye Beyazay Derneği dan asosiasi bisnis seperti MÜSİAD, ASKON, TUMSİAD.

Bahkan juga beberapa LSM yang bergerak di bidang pendidikan seperti İlim Yayma Cemiyeti, Türkiye Yazarlar Birliği, Önder dan Ensar Vakfi ikut menandatangani himbauan kepada gerakan Gulen tersebut, sehingga dapat dianggap sebagai representasi suara mayoritas muslim Turki dan juga mayoritas gerakan Islam di Turki.

Ergun Yildirim seorang pakar sosiologi dan kolumnis koran Yeni Safak mengomentari bahwa 97 organisasi yang mengeluarkan pernyataan bersama berupa himbauan agar gerakan Gulen tersebut mau bekerja sama dengan pemerintah merupakan representasi seluruh kaum agamis Turki baik dari kelompok Islam konservatif maupun modern. Di samping institusi para ulama seperti Menzil, Erenkoy, Risalah Nur, Suleyman Efendi dan Ismail Aga, juga terdapat kaum Islamis dan Milli Gorus yang melembaga dalam wadah-wadah institusi wakaf dan ormas. Dengan demikian, pernyataan ini bisa disebut sebagai pakta gerakan Islam yang cukup luas dan koalisi kaum agamis.[8]

Gerakan Gulen kembali mengabaikan himbauan mayoritas kaum agamis di Turki dan bahkan konflik antara gerakan Gulen dan pemerintah terus berlanjut dalam berbagai kasus. Gerakan atau jaringan Gulen yang ditengarai memiliki kader-kader militan di berbagai instansi pemerintah seperti birokrasi sipil, kepolisian dan kehakiman, sempat melancarkan upaya ‘kudeta sipil’ untuk menjatuhkan pemerintahan AKP dengan berbagai ‘black campaign’ melalui upaya penyadapan dan tuduhan korupsi kepada para pejabat pemerintah. Sejauh itu pemerintah hanya memantau instansi-instansi yang telah diinfiltrasi oleh jaringan Gulen .

Namun kemudian terjadilah upaya kudeta militer yang menewaskan ratusan orang yang sebagian besar adalah rakyat sipil. Maka pemerintah Turki pun mengambil langkah-langkah tegas berupa kebijakan membersihkan pihak anasir-anasir Gulen di berbagai instansi-instansi serta menutup jaringan lembaga pendidikan mereka sebab terbukti sekolah-sekolah pun dimanfaatkan sebagai ruang rapat perencanaan kudeta dan pusat lalu lintas informasi terkait rencana kudeta. Lagi pula, institusi-institusi pendidikan tersebut yang juga mereka gunakan untuk membentuk “Altın Nesil” (generasi emas) yakni generasi yang pernah mereka sebagai pasukan tentara di sebuah peperangan Rusia. Mereka adalah generasi yang loyal secara totalitas dan meyakini tidak memiliki hak suara di hadapan pimpinan yang dikultuskan sebagai imam Al-Mahdi.

Sehingga anggota generasi emas tersebut yang sehari-hari misalnya adalah pegawai negeri sipil, polisi atau tentara dan bahkan pengawal presiden yang kesehariannya bersama Presiden dan berinteraksi baik dengan Presiden, digaji oleh negara, tega untuk tiba-tiba menodongkan senjatanya kepada Presiden, begitu datang instruksi dari imamnya. Hal tersebut memang sulit dipahami yakni tentang betapa kuatnya indoktrinasi terhadap mereka sehingga mampu mengarahkan senjata kepada teman-teman yang selama ini shalat bersama mereka di masjid. Bahkan begitu totalitasnya ketaatan mereka kepada sang imam, hingga tercatat ada 300 gugatan baru perceraian yang diajukan oleh para tentara pelaku kudeta sebelum melancarkan aksinya, berdasarkan fatwa dari imam mereka. Hal tersebut untuk mengantisipasi jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan misalnya terbunuh atau tertangkap maka keluarga dan aset mereka tidak terusik.[9]

Bahkan tokoh seperti Bulent Arınç, juru bicara pemerintah, sahabat Erdogan yang juga merupakan salah seorang dari tiga pendiri AKP yang selama ini dikenal kedekatannya dengan Gulen, setelah terjadi upaya kudeta mengeluarkan pernyataan bahwa orang boleh menyebutnya sebagai orang yang ahmak (idiot) karena baru malam ini saya menyadari bahwa kelompok Gulen adalah benar kelompok teror. Padahal selama ini sebagai , pakar sosiologi yang dikenal selektif dalam memilih diksi.

Masih dalam perdebatan soal Fathullah Gulen dan permintaan pemerintahan Turki agar pemerintah AS mengekstradisi Gulen kembali ke Turki untuk diadili, maka seorang pakar Hukum Konstitusi Internasional mengungkapkan pendapatnya secara proporsional dengan tidak ada keberpihakan. Bahkan selama ini ia dikenal acap mengritisi kebijakan-kebijakan Erdogan. Dr. Said Ali Abdurahman Al-Bashir, seorang akar Konstitusi dan Hukum Internasional asal Jordan menyatakan bahwa langkah menyerahkan Fethullah Gulen Ke Turki adalah bentuk pemberantasan terorisme. Ia juga menegaskan bahwa upaya ekstradisi tokoh oposisi Turki, Fethullah Gulen sekarang berada di Amerika agar kembali ke Turki untuk diadili atas dugaan menjadi dalang kudeta Turkey sudah diatur dalam konstitusi Internasional terkait pemberantasan terorisme. Dr Said Ali Abdurahman Al-Bashir, Anggota Persatuan Komisi HAM Internasional menyatakan kepada kantor berita Anadolu, Turki dan dikutip oleh Kantor Berita Suara Palestina: “Bila Amerika menerima permintaan Turki untuk mengekstradisi Fethullah Gulen, maka dunia akan melihat i’tikad baik AS untuk memberantas terorisme yang dikampanyekannya kepada dunia. Namun jika AS menolak ekstradisi Gulen ke Turki, maka Amerika terbukti melindungi teroris dan mendukung pihak kudeta”.

Al-Bashir yang juga tergabung sebagai anggota dewan pelaksana persatuan pengacara muslim internasional menambahkan bahwa: “Turki telah memiliki bukti-bukti kuat bahwa Gulen terlibat dalam upaya kudeta di Turki berapa minggu lalu, maka Gulen harus segera diseret ke pengadilan”. Terlepas dari hubungan bilateral Turki – AS, apabila kudeta atau penggulingan pemerintah yang sah berhasil, maka jelas akan mengubah konstelasi politik di Turki yakni militer kembali berkuasa. Dan ratusan korban yang meninggal saat ini adalah korban aksi terorisme dari militer yang membelot. Oleh karena itu bila negara-negara di dunia ini menolak untuk membantu ekstradisi Gulen maka hal itu akan membawa Turki kepada kondisi chaos dan gagal dalam memberantas terorisme?” tegas pakar hukum Internasional tersebut. “Dalam kasus lain, penolakan ekstradisi dari sebuah negara bisa dipahami jika karena faktor politik, namun jelas bukan dalam hal kondisi luar biasa yakni pemberantasan terorisme. Sebab hak-hak ekstradisi kasus politik berbeda dengan kasus terorisme. Dalam kasus ekstradisi politik, sebuah negara boleh melindungi seorang tokoh oposisi di negara lain karena dianggap terzhalimi atas undang-undang yang berlaku di negaranya. Namun dalam kasus aksi terorisme, semua pihak harus tegas membantu”, Al Bashir menambahkan.

Duta Besar Turki untuk Amerika Serikat, Sardar Qulaij pun menyatakan dalam konferensi pers (22/7) bahwa Turki secara resmi sudah mengajukan permintaan ekstradisi untuk Gulen yang diduga kuat menjadi dalang aksi terorisme kudeta, yakni agar Gulen dikembalikan ke negaranya Turki. “Pada hari Selasa (19/7) juru bicara Gedung Putih George Ernest menyatakan, “Pihak Amerika telah menerima surat permintaan Turki untuk menyerahkan Fethullah Gulen.” Permintaan ini telah kami setujui dan sudah disepakati sejak 30 tahun yang silam.”

Seperti telah diketahui bersama, di ibu kota Ankara dan Istanbul pada hari Jumat tanggal 15 Juli, telah terjadi upaya kudeta dengan cara terorisme oleh segelintir militer di Turkey, namun aksi ini berhasil digagalkan oleh rakyat dan militer yang setia kepada negara Turki. Pada saat upaya kudeta tersebut diketahui pula bahwa Fethullah Gulen memerintahkan untuk menutup jembatan Bosporus yang menghubungkan Eropa dan Asia di Kota Istanbul serta berusaha menguasai media resmi di Turkey. Namun kudeta ini gagal, karena jutaan rakyat Turki turun ke jalan menolak upaya kudeta Militer teroris ini dan seluruh kota dikuasai rakyat. Rakyat juga melucuti senjata tentara militer Turki yang membelot pemerintah. Fethullah Gulen sendiri tinggal di Pennsylvania, Amerika Serikat sejak tahun 1998, di kediamannya yang seluas 250 Hektar, konon di jaga ketat oleh Intel AS bahkan pesawat pun dilarang terbang di atas lahan milik Gulen. Saat ini Fethullah Gulen berdasarkan banyak fakta dan pengakuan dari para jenderal dan perwira yang diinterogasi, diduga kuat sebagai dalang aksi kudeta di Turki.[10]

Kasus Jaringan Gulen di Indonesia

Menurut sumber Anadolu Agency, kantor berita Turki, hal penting pertama yang harus digarisbawahi terkait dengan himbauan pemerintah Turki agar pemerintah Indonesia menutup lembaga pendidikan yang terindikasi sebagai jaringan Gulen di Indonesia adalah tampak adanya kesalahpahaman. Sebab sebenarnya sekolah-sekolah tersebut boleh terus berjalan, namun manajemennya akan diambil alih oleh pemerintah Turki atau pemerintah Indonesia sehingga tidak dikelola lagi oleh jaringan Gulen. Menurut pihak kedubes Turki, mereka bisa memahami adanya kekhawatiran anak-anak dan orang tua, namun persoalan signifikannya adalah sekolah-sekolah tersebut juga melakukan kaderisasi jaringan Gulen yang bermula dari Turki. Bagi mereka jaringan sekolah tersebut bukan sekedar urusan bisnis semata, melainkan bagian dari rencana besar mereka di dunia politik dan kekuasaan. Sebagaimana halnya di Turki aktivitas rahasia jaringan Gulen dimulai oleh kader-kader mereka sejak 30 tahun yang lalu berdasarkan perintah FETO atau organisasi Fethullah Gulen.

Hal penting kedua adalah Gulen dianggap selama ini telah mengeksploitir nama pemerintah Turki terutama di dunia Islam sebagaimana yang juga tampak di Indonesia. Mereka mempromosikan diri sebagai representasi resmi Turki. Padahal secara faktual sama sekali bukan, karena mereka sama seperti halnya LSM atau yayasan lainnya tidak ada yang dapat secara resmi merepresentasikan Pemerintah Turki. Mereka sebenarnya dapat memainkan perannya sebagai LSM, namun kelompok Gulen ini sekali lagi membuktikan bahwa mereka tidak memiliki batasan-batasan demi mencapai target-target yang ditentukan oleh pimpinan tertinggi mereka.

Hal penting ketiga yang perlu diketahui termasuk oleh masyarakat Indonesia adalah bahwa ‘the leader is not an ‘ulama’, pemimpin mereka yakni Fethullah Gulen bukanlah seorang ulama. Sebenarnya melalui sejarah dapat dilihat adanya beberapa orang berubah menjadi seperti Gulen yakni seolah olah menjadi pemimpin besar melalui cara-cara yang irasional. Beberapa artikel yang ditulis oleh Prof. Mahmut Erol Kılıç dan Assoc. Prof. Yusuf Kaplan menyentuh isu tersebut dan secara sangat jelas mereka menyamakan kelompok Gulen dengan aliran Kristen Mormon, atau kelompok-kelompok menyimpang lainnya di AS. Menurut mereka kelompok Gulen ini juga menyimpang dari pemahaman dan praktik Islam mainstream atau pada umumnya Mereka memainkan peran menjadi LSM di bidang pendidikan dan urusan sosial/pelayanan masyarakat, namun menyembunyikan agenda tersembunyinya untuk mendapatkan kekuasaan politik tidak hanya di Turki melainkan juga di negara-negara lain termasuk di Indonesia. Hal itulah yang menjadi pertimbangan bagi Pemerintahan Turki untuk menghentikan aktivitas mereka di Turki dan di LN.

Menurut Azam, koresponden di Istanbul, semestinya Indonesia, sebagai sesama negara Muslim yang memiliki hubungan baik dengan Turki juga memberikan dukungan yang konkret ke pemerintah Turki dalam membersihkan jaringan teroris FETO di Indonesia. Saat ini masyarakat Indonesia memang diributkan dengan aksi protes dari sekolah serta anak-anak yang pernah bersekolah di sekolah-sekolah jaringan Gulen yang menyatakan bahwa mereka bukan teroris. Mereka memang bukan teroris namun bisa jadi tanpa disadari mereka telah menjadi proyek dan sekaligus ‘cover’ FETO untuk mendapatkan dukungan dan simpati dari masyarakat dunia, bahwa seolah-olah FETO tidak berdosa sama sekali karena hanya bergerak di bidang pendidikan dan pelayanan masyarakat, dan pemerintah Turki telah menzhalimi mereka. Masyarakat di Indonesia pada umumnya memang tidak mengenal dan tidak memahami siapa sebenarnya Gulen dan jaringannya. Maka sebenarnya persoalan sesungguhnya adalah bukan lagi sekedar konflik antara Erdogan dan FETO, melainkan bagaimana dunia bahu membahu memerangi gerakan terorisme di negara manapun. Namun nyatanya pihak Barat yang memang tidak menginginkan Turki maju terus merongrong Turki dengan segala cara termasuk malah mengecam tindakan pemerintahan Turki yang ingin menyelamatkan demokrasi dan negaranya.

Padahal terkait pemberantasan terorisme, jika secara obyektif dilihat dari kelaziman langkah-langkah yang dilakukan negara-negara lain dalam menghadapi terorisme yang harus dianggap sebagai kondisi darurat, mereka langsung bertindak tegas dan mengabaikan masalah kebebasan individu serta menyasar semua sumber-sumber yang berhubungan dengan aksi teror tersebut untuk menyingkap aksi sesungguhnya dari para teroris. (Anadolu Agency, Istanbul: 30 Juli 2016)

Kesimpulan

Bahkan bila dicermati lebih jauh situasi di Turki saat ini bisa dilihat bukan sebagai kompetisi politik antara Erdogan dan Gulen, melainkan masalah keberlangsungan eksistensi negara Turki pada khususnya dan eksistensi Islam pada umumnya. Maka pertanyaannya adalah di mana posisi Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia dalam konstelasi politik Islam Internasional. Selama era Jokowi-JK, Indonesia tidak menunjukkan keberpihakan dan pembelaan pada dunia Islam. Bisa dibilang tidak memainkan peran sama sekali dalam konteks perjuangan Islam internasional. Indonesia tidak menampung satupun migran Muslim yang teraniaya seperti dari Palestina dan Suriah, namun menampung migran buruh Tiongkok yang sangat banyak melalui kesepakatan investasi negara Tiongkok dengan Indonesia.

Sejak masa pemerintahan SBY, pun Indonesia lebih menunjukkan solidaritasnya dan keberpihakannya pada negara-negara Barat terutama AS. Jika AS mengatakan bahwa Abu Bakar Ba’asyir adalah teroris, maka pemerintah Indonesia segera mengaminkan dan memenjarakan beliau tanpa pembuktian yang jelas. Lalu begitu banyak pula orang-orang yang ditembak oleh satuan khusus pemberantas terorisme yakni Densus 88 dengan dalih teroris tanpa pengadilan. Dan hampir tidak ada yang mengecamnya baik di dalam dan luar negeri, karena semua berdalih kondisi darurat pemberantasan terorisme harus dilakukan dengan sangat tegas.

Demikian pula ketika AS mencurigai pesantren-pesantren dan yayasan-yayasan tertentu sebagai tempat pembibitan dan penyaluran dana bagi para teroris maka segera pemerintah Indonesia pun tergopoh-gopoh melakukan penyelidikan. Wakil Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid, pernah mengalami kondisi yang tidak nyaman ketika Yayasan Al-Haramain yang dipimpinnya dituding AS sebagai yayasan yang terkait dengan terorisme, walaupun kemudian berhasil dibantah. Namun jika negara muslim sahabat seperti Turki meminta agar Indonesia menutup atau paling tidak anjuran untuk mencermati sekolah-sekolah yang berafiliasi ke jaringan Gulen yang ditengarai dengan bukti-bukti jelas sebagai jaringan terorisme, maka pejabat negara seperti, Pramono Anung segera mengatakan bahwa permintaan negara Turki tersebut adalah bentuk intervensi negara lain. Beda halnya jika yang meminta hal seperti itu adalah AS.

Terkait dengan jaringan sekolah Gulen adalah hal yang naif ketika semua yang berada di jaringan sekolah-sekolah tersebut segera membantah bahwa sekolahan mereka tidak ada kaitannya dengan Turki atau dengan jaringan Gulen, padahal selama ini jelas-jelas ada kaitannya. Memang boleh jadi mereka yang berada di lapisan bawah dari jaringan Gulen, murni ingin memajukan pendidikan dan tidak mengetahui bahwa pemimpin mereka memanfaatkan gerakan yang memiliki cover berupa pendidikan dan pelayanan ini dimanfaatkan oleh kekuatan-kekuatan asing untuk merongrong dan bahkan menggulingkan pemerintahan Turki yang terpilih secara demokratis.

Bila Erdogan bersikap tegas dan didukung rakyatnya membersihkan anasir-anasir yang merongrong kedaulatan negara Turki, Barat menyebutnya sebagai otoritarian. Namun bagaimana halnya jika kudeta militer yang didalangi Gulen tersebut berhasil seperti halnya kudeta yang dilakukan oleh Abdul Fatah As-Sisi di Mesir. Akankah mereka bersikap sama mengecamnya? Sebab ketika As-Sisi berhasil mengkudeta Presiden yang terpilih secara legal yakni Presiden Muhammad Mursi, ia segera membubarkan Ikhwanul Muslimin, menetapkannya sebagai organisasi terlarang, menyita semua asetnya dan memenjarakan para pimpinan dan anggotanya sebanyak ribuan orang serta menetapkan ribuan anggota IM lainnya dalam Daftar Pencarian Orang alias buron. Negara-negara Barat terutama AS malah kemudian tidak segan-segan segera mengakui dan menjalin hubungan dengan pemerintahan Sisi hasil kudeta.

Maka jika Gulen berhasil, maka boleh jadi negara-negara Barat hanya akan mengutuk kudeta tersebut sebentar namun kemudian akan membiarkannya melakukan bersih-bersih terhadap kaum Islamis. Demikianlah standar ganda demokrasi yang dianut para penganjur demokrasi. Dahulu partai Islam FIS di Aljazair memperoleh kemenangan secara demokratis melalui Pemilu, namun Barat mendalangi atau paling tidak membiarkan terjadinya kudeta militer yang menggulingkan penguasa sah dan memberangus serta membekukan FIS. Demikian pula yang terjadi dengan FJP di Mesir. Kemenangan secara demokratis hampir 50% juga diakhiri dengan kudeta militer. Jenderal As-Sisi adalah Jenderal angkatan pertama yang mendapat beasiswa belajar di AS dan Mesir selama ini memang mendapatkan bantuan yang besar bagi militernya dari AS sebagai negara yang digunakan sebagai pengaman bagi Israel. Namun apakah dunia internasional bereaksi kepada As-Sisi dengan reaksi yang sama seperti saat ini kepada Erdogan, padahal As-Sisi adalah rezim militer otoriter hasil kudeta. Di mana letak demokrasinya negara-negara penganjur demokrasi.

Maka seharusnya mereka menyerahkan kembali pada mekanisme demokrasi di Turki. Penguasa suatu negeri adalah rakyat, jika rakyat kemudian marah kepada cara-cara Erdogan menangani kasus kudeta militer gagal ini karena misalnya dinilai represif, maka biarlah rakyat menghukumnya secara demokratis dengan tidak lagi memilihnya di Pemilu 2019. Namun bila rakyat tetap memilihnya dan bahkan menganggapnya tengah menyelamatkan negara, maka kita pun harus menghormati pilihan rakyat Turki.

Sikap dan langkah tegas pemerintahan Turki adalah justru sebuah upaya nyata untuk menyelamatkan demokrasi dan memerangi terorisme, sekaligus sebuah warning bagi siapa saja yang tidak mau mengambil jalan legal-formal dan konstitusional dalam merebut kekuasaan. Sebenarnya strategi rekrutmen yang digambarkan oleh Uvuk Ulutas[11] sebagai berbasis sel dengan hierarki yang kuat lalu menggunakan juga sarana rekrutmen melalui lembaga-lembaga pendidikan dan lembaga pelayanan masyarakat yang disebut ‘hizmet’ karena teori politik ‘vernacular politik’ yang merupakan sinergi antara lembaga sipil dan lembaga politik untuk meraih kemenangan dan kekuasaan, asalkan kemudian tidak menjadikan lembaga pendidikan dan pelayanan tersebut sebagai ‘cover’ atau kedok aksi terorisme mereka berupa kegiatan merebut kekuasaan dengan cara ilegal dan kekerasan.

Strategi infiltrasi yang digunakan oleh Gulenis atau jaringan Gulen ini yang berbahaya. Orang awam memang dibuat bingung mengenai organisasi dan metode operasi dengan pembawaan rahasia mereka, ‘cara penghormatan dengan pengultusan’, struktur berbasis sel, hierarki yang ketat dan penggunaan kedok atau kamuflase secara luas. Namun bagi mereka yang hidupnya pernah bersentuhan dengan kelompok tersebut seberapapun hubungannya metode rekrutmen dan infiltrasi Gulenis sudah menjadi rahasia umum Hal yang jelas adalah bahwa mereka telah meletakkan dasar yang kuat selama puluhan negara untuk mengambil alih kekuasaan. Bila mencermati jenjang pangkat militer pengkudeta yang tertangkap termasuk para jenderalnya, maka seseorang bisa saja beranggapan bahwa organisasi teror sudah beroperasi di dalam tubuh militer Turki dengan berbagai kapasitas yang berbeda beda paling tidak sejak pertengahan 1980-an. Mereka menggunakan 3 strategi utama untuk mengembangkan pengaruh dan kemampuan operasionalnya yakni infiltrasi, konversi, dan pembentukan aliansi. Walaupun bagi kebanyakan orang hal itu menjadi rahasia umum namun upaya kudeta 15 Juli membuktikan dan membantah semua keragu-raguan bahwa Gulen bukan hanya menginfiltrasi tentara.[12]

Gerakan Gulen tampaknya mulai putus asa setelah usaha mereka menjadikan AKP sebagai kendaraan politik mereka gagal, kemudian mereka juga mendirikan Demokratik Gelişim Partisi pada tahun 2014 dipimpin oleh Idris Bal namun kemudian ketika mengikuti Pemilu pada 2015 tidak lolos PT 10% sehingga tidak mendapatkan satu kursipun. [13]. Keputusasaan mereka untuk menempuh cara-cara legal konstitusional membuat mereka melancarkan kudeta yang ternyata juga sudah mereka rencanakan secara matang melalui strategi infiltrasi ke berbagai instansi dan lembaga pemerintahan.

Maka kini pertanyaannya adalah siapa sebenarnya yang tidak kooperatif dan demokratis. Namun dengan standar gandanya negara-negara Barat malah mengecam upaya tegas pemerintah Turki untuk memerangi terorisme dan menjaga demokrasi di Turki sebagai tindakan otoriter dan tidak demokratis. Padahal sekali lagi siapa yang sebenarnya sejak awal mengganggu demokrasi dengan cara-cara ilegal dan inkonstitusional dan siapa yang menjaga demokrasi. Maka pernyataan Bulent Arinc yang menyatakan jujur bahwa ia bodoh karena terlambat menyadari, bagus menjadi renungan bagi kita yakni lalu bagaimana dengan kita.

Catatan Kaki:
[1] W. Hefner Robert, Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia. Penerbit ISAI, Jakarta 2001.
[2] Ibid, hlm 21.
[3] Fealy, Greg dan Anthony Bubalo. Jejak Kafilah (edisi Bahasa Indonesia). Mizan, 2005, hlm 78
[4] Ibid: 154-166
[5] Pidato Kampanye terakhir PM Recep Tayyip Erdogan, di Chengelkov, Uskudar, Istanbul, Sabtu 11 Juni 2011.
[6] Idem.
[7]KH Hilmi Aminuddin, di Mukernas II, Yogyakarta 25 Februari 2011
[8] Surat kabar Yenisafak, Turki 12.01.2014.
[9] Diterjemahkan oleh Andika dari http://m.yeniakit.com.tr/haber/fetullah-gulenin-bosanma-fetvasi-300-asker-once-esinden-bosandi-sonra-197478.html
[10]Said Ali Abdurahman Al-Bashir, seorang pakar konstitusi internasional berkebangsaan Yordania. DR. Filsafat Konstitusi Umum (Level Internasional), Penasihat di kementerian Pendidikan dan penelitian global. Anggota dewan Pengawas di Universitas Palestina, dan sederetan jabatan dan ratusan pengalaman di bidang hukum serta Konstitusi di Dunia. http://www.suarapalestina.com/in/?action=showdetail&seid=1103. Sabtu (23/7)
[11] Uvuk Ulutas adalah direktur studi kebijakan luar negeri di SETA Foundation dia menerima gelar sarjananya di Ilmu Politik di Turki gelar Masternya di Amerika dan kini kandidat doctor. dia juga mempelajari tentang politik Yahudi.
[12] http://www.hurriyet.com.tr/askere-sizma-1986da-fark-edildi-ama-4015 6430It. Dalam versi bahasa Inggrisnya: “
[13] ^ “Demokratik Gelişim Partisi”. 16 Nisan 2015 tarihinde kaynağından arşivlendi.http://web.archive.org/web/20150416063123/http://www.yargitaycb.gov.tr:80/Partiler/dgp.html. Erişim tarihi: 17 Ağustos 2015.

Dr. Sitaresmi S Soekanto
Dr. Sitaresmi

Penulis: Penulis, editor, pembicara dan pembina Insure. Doktor politik UI. Ibu 7 anak nenek 4 cucu.
 @sitaresmi02



Sumber:  http://www.dakwatuna.com/2016/08/06/81969/standar-ganda-para-penganjur-demokrasi-pasca-gagalnya-upaya-kudeta-di-turki/#ixzz4GZJXHCyt 
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

0 komentar:

Post a Comment