-->

Friday, August 5, 2016

ADA YANG MENGGUGAT DAYA KRITIS PERS

Nasihin Masha
Nasihin Masha

Oleh : Nasihin Masha

PORTALBANDUNG.COM -- , Hanya Susilo Bambang Yudhoyono, mantan presiden, yang bicara secara terbuka, pada 10 Juni 2016. Lainnya hanya bicara dalam ruang-ruang tertutup.

Saat jumpa pers, SBY mempertanyakan sikap pers. Ia menilai pers tak kritis terhadap pemerintah saat ini dan pers tak seganas seperti saat ia menjadi presiden. Hal itu berbeda dengan yang ia alami saat menjadi presiden. Ia terus dikritik oleh pers.

Betulkah? Tak lama setelah menjadi presiden, sebuah koran membuat tulisan dengan judul "Ketika Aktor Kehilangan Panggung". Tulisan itu mengkritik sikap SBY yang terus melakukan pencitraan. Padahal pemilu sudah selesai dan ia menjadi pemenangnya.

Semestinya, ia kerja melakukan tugasnya sebagai presiden, yakni memimpin pemerintahan dan negara. Tulisan itu menyengat SBY. Kini, sebuah media yang lain membuat tulisan yang berjudul: Jokowi's Hidden Side As 'Little Soeharto'.

Walau tulisan ini bernada positif, tapi menyamakan Jokowi dengan Soeharto tentu membuat aroma yang berbeda. Dua tulisan dari dua media itu tentu hanya contoh ekstrem. Karena sejumlah media lain juga melakukan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pers yang independen.

Kritis jika harus ada yang dikritisi dan dukung jika ada yang harus didukung. Bahkan jika kita bisa menyebutkan, saat ini setidaknya ada dua grup media yang seolah menempatkan dirinya sebagai koran oposisi.

Hal itu justru tak ditemukan di periode SBY yang melakukan itu secara konsisten. Lalu, apakah perasaan SBY terhadap pers saat ini keliru? Bisa ya, bisa tidak. Yang pasti yang merasa seperti itu bukan hanya SBY. Sejumlah tokoh penting juga mengeluhkan hal yang sama.

Mereka bukan orang-orang sembarangan. Ada perasaan umum yang sama terhadap pers dari sebagian orang. Karena itu, pada titik ini perasaan SBY tidaklah keliru. Namun jika masuk lebih dalam maka perasaan itu perlu ditelisik kebenarannya.

Forum Pemimpin Redaksi memiliki banyak grup diskusi di media sosial whatsapp. Ada yang khusus pemred, ada yang digabung dengan menteri dan sejumlah figur, ada pula yang digabung dengan sejumlah tokoh.

Sejak sebelum masa kampanye hingga masa awal kepresidenan Jokowi, suara para pemred umumnya sangat suportif terhadap Jokowi. Para pemred beberapa kali bertemu Jokowi, dalam grup yang lebih kecil juga melakukan sejumlah pertemuan dengan Jokowi.

Namun kini, suara itu umumnya makin mengeras dan sangat kritis terhadap Jokowi. Kadang diskusinya sangat panas. Sehingga suatu waktu, seorang tokoh di grup itu berkomentar: kok suara itu tak tecermin di medianya?

Atau para pemred ini mewakili suara kaum tua sedangkan para reporter dan redaktur yang berusia muda yang sehari-hari memegang kendali media memiliki pendapat yang berbeda? Pertanyaan seperti itu tentu keliru, sebagaimana kekeliruan perasaan SBY.

Di Amerika Serikat ada adagium bahwa di awal kekuasaan seorang presiden, itulah masa bulan madu pers dengan penguasa. Setelah itu pers akan kembali berjarak dengan kekuasaan. Mengapa bulan madu? Pers harus bersikap suportif dan memberi waktu terhadap penguasa baru.

Sikap kritis harus ditahan dulu. Setelah itu, pers kembali melaksanakan fungsinya sebagai watchdog, sebagai pengawas pemerintah. Ilham Bintang, seorang wartawan senior, bahkan lebih tegas lagi bersikap: pers tak boleh lelah menjadi "pengganggu" penguasa.

Justru dengan cara itu, pers membantu pemerintah agar pemerintah selalu tarjaga dan awas dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Lalu mengapa ada perasaan bahwa pers sekarang tidak kritis? Para orang yang kritis terhadap pers mengemukakan sejumlah penilaian.

Pertama, para pemimpin redaksi terlalu dekat dengan penguasa. Kedua, era konglomerasi pers telah membuat pengaruh pemilik media mulai dominan terhadap kebijakan redaksional. Para pemilik ini berkepentingan untuk selalu dekat dengan penguasa.

Saya tak hendak menjawab dua penilaian itu. Karena apapun jawabannya, publik bisa meragukannya karena itu bisa hanya menjadi bela diri saja.

Namun di sini, saya hanya mengemukakan satu kenyataan, sejak Forum Pemred berdiri, baru tahun ini Presiden tak mengundang para pemred untuk berbuka puasa.

Padahal di awal terpilih menjadi Presiden, Jokowi menyatakan bahwa dirinya ingin bertemu para pemred tiap tiga bulan untuk mendapat masukan - Forum Pemred sendiri tak pernah meminta karena masukan bisa dilakukan dari media masing-masing.

Presiden juga tak berbuka puasa dengan masyarakat pers sebagaimana sebelum-sebelumnya. Sebetulnya ada yang lebih substansial daripada persoalan yang subjektif seperti itu:

Pertama, pers memang suatu fakta sosial tersendiri - suatu entitas yang berdiri sendiri dengan segenap tugas dan tanggung jawabnya. Namun sejatinya pers tak bisa berdiri sendiri. Pers tak bisa memproduksi berita sendiri. Pers hanya bisa mengkonstruksi bahkan merekonstruksi realitas yang ada di masyarakat.

Proses bernegara yang sejati terjadi di tiga cabang kekuasaan yang ada. Dalam konteks watchdog, pers membutuhkan mitra di legislatif dan yudikatif. Di masa pemerintahan SBY, ada partai yang mengambil sikap sebagai oposisi, yakni PDIP.

Anggotanya tak hanya bersuara secara individual merespons setiap peristiwa, tapi juga partai dan fraksinya bisa bersikap secara resmi dalam proses formal bernegara.

Mereka juga bisa menciptakan peristiwa dengan mengerahkan pemilih dan jaringannya untuk melakukan langkah politik. Semua itu merupakan sumber asupan berita bagi pers.

Saat ini, tidak ada partai yang berani bersikap tegas untuk beroposisi - yang paling berkepentingan untuk menjadi acting opisisi justru Partai Demokrat, mestinya.

Kedua, pers juga memotret realitas di akar rumput. Namun jangan berharap akar rumput yang organik bisa tahan untuk secara konsisten mengemukakan sikapnya. Karena itu suara mereka biasanya diwakili oleh ormas dan LSM.

Mereka terlatih membuat agenda setting yang terencana. Kini, semua basis gerakan sosial diserap secara penuh oleh pemerintah. Untuk kali pertama dalam sejarah, LSM pergerakan (strukturalis) secara total masuk kekuasaan.

Karena itu, untuk kali pertama dalam sejarah, masyarakat tak memiliki pendamping. Penggusuran lancar goncar, reklamasi aman sentosa. Ketiga, suara pers sering memanfaatkan kepakaran akademisi dan peneliti.

Sebagai cendekiawan dan intelektual mereka adalah pemegang terompet suara para resi dan begawan. Sebagaimana kalangan LSM, mereka sebagian terserap kekuasaan sebagian lagi terjebak pada masalah perut dan hedonisme.

Mereka memilih menjadi cendekiawan tapi sebagian dari mereka juga ingin kaya. Sehingga mereka pun sibuk mencari proyek ataupun jabatan. Mereka tak lagi berumah di awan. Mereka manusia juga. Bahkan saat ini pers mengalami kesulitan mencari narasumber kaum intelektual yang terbebas dari jaring power play.

Semua faktor ini telah membuat pers berjalan sendiri. Padahal suara pers menjadi bunyi manakala berita yang dimunculkan bersahutan dengan tindakan masyarakat pembacanya. Namun nyatanya tak ada resonansi. Ketidakbunyian pers inilah yang kemudian dipotret bahwa pers kehilangan daya kritisnya.

Sumber: ROL

0 komentar:

Post a Comment