-->

Tuesday, July 5, 2016

HUKUM MENGUCAPKAN SELAMAT NATAL, BOLEHKAH?

Oleh:  H. Ahmad Zamroni, SS., M.Pd., MA. (Kandidat Doktor, Universitas Islam Negeri Malang )
[portalbandung.com]. Ucapan selamat kepada orang lain merupakan ucapan rasa terhadap datangnya suatu kegembiraan, kadangkala kita ucapkan kepada saudara, teman, kerabat, yang memperoleh suatu kegembiraan.
Menurut Syekh Bujairamiy dalam kitabnya Ḥasyiah al-Bujairamiy ‘ala al-Khatib diterangkan bahwa:
التَّهْنِئَةُ ضِدُّ التَّعْزِيَةِ فَهِيَ الدُّعَاءُ بِعَوْدِ السُّرُورِ ، وَالتَّعْزِيَةُ حَمْلُ الْمُصَابِ عَلَى الصَّبْرِ بِوَعْدِ الْأَجْرِ وَالدُّعَاءِ لَهُ .
“Ucapan selamat merupakan lawan kata dari ucapan bela sungkawa (ta’ziyah), ia berarti doa terhadap datangnya kegembiraan. Sedangkan Ucapan Bela Sungkawa merupakan usaha dan doa bagi orang yang tertimpa musibah kepada kesabaran”.
Lebih lanjut lagi, ucapan selamat ini dihukumi sunnah dengan dalil qiyas terhadap kesunnahan bela sungkawa (ta’ziyah).

Adapun yang menjadi permasalahan adalah bagaimana kalau ucapan selamat itu disampaikan untuk agama lain? Apalagi diucapkan untuk selamat hari raya agama mereka? Apakah ia termasuk bagian kecil dari kesyirikan?

Untuk menjawab ini, marilah kita telusuri istidlal para ulama terkait ucapan selamat hari raya agama lain, terutama selamat hari natal kepada kaum nasrani yang akan merayakannya. Apalagi hal itu dibarengi dengan berkirim bunga atau parcel kepada mereka. Bagaimanakah hukumnya?


Berpartisipasi dalam Hari Natal atau Hari Raya Agama Lain

Kalangan Madzhab Hanafi berpendapat bahwa memberi sesuatu atas nama hari raya agama lain tidak boleh bahkan bisa menyebabkan kekafiran.

Pendapat ini dengan permisalan jika ada seorang muslim yang menyembah Allah, lalu pada hari raya Nairuz (hari raya Quraisy Jahiliyyah) memberi hadiah walau sebutir telur kepada orang musyrik, dengan maksud mengagungkan hari tersebut, maka telah kafir dan sirna amal ibadahnya. (kitab البحر الرائق شرح كنز الدقائق, 5:25).

Syeikh Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa-nya (2:488) ketika ditanya tentang muslim yang ikut-ikutan hari raya nasrani juga melarang menyerupai ikut-ikutan kaum kafir dalam hari rayanya baik dari segi makanan, pakaian, menyalakan api (lilin), meliburkan kebiasaan hidup dll. Juga tidak boleh melakukan pesta, memberi hadiah, berdagang yang membantu mereka pada perayaan tersebut. Pendapat beliau:

” لا يحل للمسلمين أن يتشبهوا بهم في شيء , مما يختص بأعيادهم , لا من طعام , ولا لباس ولا اغتسال , ولا إيقاد نيران , ولا تبطيل عادة من معيشة أو عبادة , وغير ذلك ، ولا يحل فعل وليمة , ولا الإهداء , ولا البيع بما يستعان به على ذلك لأجل ذلك ، ولا تمكين الصبيان ونحوهم من اللعب الذي في الأعياد ، ولا إظهار زينة”
Sedangkan kalangan Madzhab Syafii berpendapat di antaranya dikemukakan oleh Jalaluddin As-Suyuthi:
“ومن البدع والمنكرات مشابهة الكفار وموافقتهم في أعيادهم ومواسمهم الملعونة، كما يفعل كثير من جهلة المسلمين في مشاركة النصارى وموافقتهم فيما يفعلونه في خميس البيض الذي هو أكبر أعياد النصارى، وفي المواليد -إلى أن قال– ومن ذلك تعطيل الوظائف الرئيسية من الصنائع والتجارات، وغلق الحوانيت، واتخاذه يوم راحة وفرح على وجه يخالف ما قبله وما بعده من الأيام. كل ذلك منكر وبدعة، وهو شعار النصارى فيه. فالواجب على المؤمن بالله ورسوله أن لا يحدث في هذا اليوم شيئاً أصلاً، بل يجعله يوماً كسائر الأيام”.
“termasuk bid’ah dan kemungkaran adalah perilaku menyerupai orang-orang kafir dan menyetujui hari rayanya dan upacara keagamaanya yang tercela. Seperti apa yang dilakukan mayoritas orang islam yang ikut berpartisipasi dan menyetujui apa yang mereka lakukan dalam kamis putih (sebelum paskah) dan natalan……..termasuk dalam hal itu adalah meliburkan pekerjaan perusahaan-perusahaan dan perdagangan, menutup toko, menjadikannya hari refressing yang berbeda dengan hari-hari biasa, itu termasuk kemungkaran dan syiar nasrani. Kewajiban orang yang beriman kepada Allah dan Rasulnya adalah jangan melakukan hal baru di hari itu, tetapi buatlah seperti hari biasa”. (kitab الأمر بالاتباع والنهي عن الابتداع, 1:13).


Walaupun begitu, sedikit berbeda dengan pendapat Jalaluddin As-Suyuthi, Ibnu Hajar al-Haitami dalam al-Fatawi al-Fiqhiyyah al-Kubro berpendapat bahwa melakukan hal-hal yang berkaitan dengan hari natal atau hari raya agama lain jika diniati Tasybih (menyerupai/mengikuti) mereka, maka kafir.

Jika hanya syiar seorang hamba disertai keyakinan tercegah dari kekafiran, maka tidak menjadikan kafir tetapi berdosa. Jika diniati tidak tasybih (menyerupai/mengikuti) mereka, maka tidak apa-apa. Pendapat beliau:

“إنْ فَعَلَ ذَلِكَ بِقَصْدِ التَّشْبِيهِ بِهِمْ فِي شِعَارِ الْكُفْرِ كَفَرَ قَطْعًا ، أَوْ فِي شِعَارِ الْعَبْدِ مَعَ قَطْعِ النَّظَرِ عَنْ الْكُفْرِ لَمْ يَكْفُرْ وَلَكِنَّهُ يَأْثَمُ وَإِنْ لَمْ يَقْصِدْ التَّشْبِيهَ بِهِمْ أَصْلًا وَرَأْسًا فَلَا شَيْءَ عَلَيْه”

Ucapan Selamat Hari Natal atau Hari Raya Agama Lain bagi Muslim

Menanggapi boleh tidaknya mengucapkan selamat hari raya agama lain, para ulama / ahli Islam berbeda pendapat, setidaknya ada yang memperbolehkan dan ada yang mengharamkan.

Di antara yang membolehkan adalah Dar Ifta’ Mesir. Majelis mufti mesir ini membolehkan mengucapkan selamat hari raya terhadap agama lain termasuk selamat natal dengan memasukkan ucapan tersebut kepada Ihsan (berbuat baik untuk manusia), dasar dalilnya adalah firman Allah: وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا﴾dan firman-Nya:(إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ ).

Fatwa ini juga menegaskan bahwa al-Quran tidak melarang kita untuk berbuat baik kepada non-muslim; berhubungan dengan mereka, memberi menerima hadiah mereka, dll yang masuk dalam perilaku berbuat baik. Dasarnya adalah firman-Nya:

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِى الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”
Dan hadits Nabi yang menerangkan bahwa Nabi pernah menerima hadiah dari non-muslim adalah:
عن علي بن أبي طالب رضى الله عنه قال: « أَهْدَى كِسْرَى لَرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَبِلَ مِنْهُ وَأَهْدَى لَهُ قَيْصَرُ فَقَبِلَ مِنْهُ وَأَهْدَتْ لَهُ الْمُلُوكُ فَقَبِلَ مِنْهُم».. [أخرجه أحمد في مسنده، والبيهقي في الكبرى، والبزار في مسنده].
Diriwayatkan dari Ali RA: Raja Kisra memberi hadiah Rasulullah SAW, beliau menerimanya, dan Kaisar juga memberi hadiah, beliau menerimanya, begitu juga raja-raja lain memberi beliau hadiah, dan beliau menerimanya. (Hadits dikeluarkan oleh Ahmad di Musnadnya, al-Baihaqi di al-Kubra, dan al-Bazzar di Musnadnya).

Pendapat serupa dikemukakan juga oleh Yusuf al-Qardhawi yang mensyaratkan jika mereka telah berdamai dengan muslimin dan punya hubungan baik seperti kerabat, tetangga, teman kerja, teman kampus, maka boleh saja. Apalagi mereka juga mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri kepada kita muslimin. Pendapat ini mendasarkan ayat di atas dan ayat lain:

وَإِذَا حُيِّيْتُم بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّواْ بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا، النساء86.
Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa).

Hal senada juga diungkapkan oleh Majlis Fatwa di Eropa, ulama-ulama lain termasuk Muhammad Rashid Ridha yang memperbolehkan ziarah non-muslim dan mengucapkan selamat hari raya dengan mendasarkan dalilnya bahwa Nabi pernah mengunjungi seorang anak yahudi dan menngajaknya masuk Islam.

Sedangkan di antara yang melarang dan mengharamkan adalah Ibnu Qayyim al-Jauziyyah al-Hanbali berkata:
وأما التهنئة بشعائر الكفر المختصة به فحرام بالاتفاق مثل أن يهنئهم بأعيادهم وصومهم فيقول عيد مبارك عليك أو تهنأ بهذا العيد ونحوه فهذا إن سلم قائله من الكفر فهو من المحرمات وهو بمنزلة أن يهنئه بسجوده للصليب بل ذلك أعظم إثما عند الله وأشد مقتا من التهنئة بشرب الخمر وقتل النفس وارتكاب الفرج الحرام ونحوه … وإن بلي الرجل بذلك فتعاطاه دفعا لشر يتوقعه منهم فمشى إليهم ولم يقل إلا خيرا ودعا لهم بالتوفيق والتسديد فلا بأس بذلك وبالله التوفيق. (ابن قيم الجوزية، أحكام أهل الذمة 1/442).
Adapun ucapan selamat dengan simbol-simbol yang khusus dengan kekufuran maka adalah haram berdasarkan kesepakatan ulama, seperti mengucapkan selamat kepada kafir dzimmi dengan hari raya dan puasa mereka. Misalnya ia mengatakan, hari raya berkah buat Anda, atau Anda selamat dengan hari raya ini dan sesamanya. Ini jika yang mengucapkan selamat dari kekufuran, maka termasuk perbuatan haram. Ucapan tersebut sama dengan ucapan selamat dengan bersujud kepada salib. Bahkan demikian ini lebih agung dosanya menurut Allah dan lebih dimurkai daripada ucapan selamat atas minum khamr, membunuh seseorang, perbuatan zina yang haram dan sesamanya. Apabila seseorang memang diuji dengan demikian, lalu melakukannya agar terhindar dari keburukan yang dikhawatirkan dari mereka, lalu ia datang kepada mereka dan tidak mengucapkan kecuali kata-kata baik dan mendoakan mereka agar memperoleh taufiq dan jalan benar, maka hal itu tidak lah apa-apa.” (Ibnu Qayyimil Jauziyyah, Ahkam Ahl al-Dzimmah, juz 1 hal. 442).
:Kalangan yang mengharamkan juga mendalilkan kepada hadits Nabi SAW

لاَ تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلاَ النَّصَارَى بِالسَّلاَمِ

“Janganlah kalian mendahului Yahudi dan Nashara dalam salam (ucapan selamat).” (HR. Muslim, 2167).
Juga hadits lain yang menafsirkan perayaan tersebut dengan tasyabbuh, menyerupai, ikut-ikutan, rela, setuju dengan perilaku mereka.
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad & Abu Dawud)

Simpulan Tentatif yang Meng-Indonesia

Perbedaan pendapat di atas menjadikan kita bisa memilih kepada dalil dan ulama mana kita bersikap dan mengikutinya. Hemat kami, pendapat di atas bisa kita kategorikan menjadi dua dengan mengikuti terminologi Imam as-Sya’roni dalam kitabnya yang terkenal al-Mizan al-Kubro, yaitu;

1. Qoul Musyaddad: pendapat yang tegas & keras,

2. Qoul Mukhaffaf: pendapat yang ringan. Imam as-Sya’rani juga menjelaskan hal ini di dalam kitab Mizanul-Kubra hal.3:

وَكَماَ لاَيَجُوْزُ لَناَ اَلطَّعْنُ فِيْماَ جَائَتْ بِهِ َاْلأَنْبِياَءُ مَعَ اخْتِلاَفِ شَرَائِعِهِمْ فَكَذلِكَ لاَيَجُوْزُ لَنَا اَلطَّعْنُ فِيْمَا اسْتَنْبَطَهُ َاْلأَئِمَّةُ اَلْمُجْتَهِدُوْنَ بِطَرِيْقِ اْلاِجْتِهاَدِ وَاْلاِسْتِحْسَانِ وَيُوْضَحُ لَكَ ذلِكَ أَنْ تَعْلَمَ يَاأَخِىْ أَنَّ الشَّرِيْعَةَ جَائَتْ مِنْ حَيْثُ اْلأَمْرِ وَالنَّهِى عَلىَ مَرْتَبَتـَىْ تَحْفِيْفٌ وَتَشْدِيْدٌ لاَ عَلىَ مَرْتَبَةٍ وَاحِدَةٍ كَمَا سَيَأْتِىْ اِيْضَاحُهُ فِى الْمِيْزَانِ فَاِنَّ جَمِيْعَ الْمُكَلِّفِيْنَ لاَ يُخْرِجُوْنَ عَنِ الْقِسْمَيْنِ : قَوِيٌّ وَضَعِيْفٌ مِنْ حَيْثُ اِيْمَانِهِ اَوْ جِسْمِهِ فِيْ كُلِّ عَصْرٍ وَزَمَانٍ , فَمَنْ قَوِيَ مِنْهُمْ خُوْطِبَ بِالتَّشْدِيْدِ وَاْلأَخْذُ بِالْعَزَائِمِ وَمَنْ ضَعَفَ مِنْهُمْ خُوْطِبَ بِالتَّخْفِيْفِ وَاْلأَخْذُ بِالرُّخَصِ (الميزان الكبرى )
“Sebagaimana tidak dibolehkan mencela perbedaan di antara syari’at-syari’at yang dibawa para Nabi, begitu juga tidak dibolehkan mencela pendapat-pendapat yang dicetuskan para imam Mujtahid, baik dengan metode ijtihad maupun istihsan. Saudaraku! Lebih jelasnya kamu perlu tahu, bahwa syari’at dilihat dari perintah dan larangannya itu dikembalikan pada 2 kategori yaitu ringan (takhfif) dan berat (tasydid). Lebih jelasnya hal itu ada di (kitab) ‘al-Mizan. Dengan demikian Mukallaf pada umumnya tidak ada yang keluar dari 2 hal/kondisi, yaitu kuat dan lemah dari segi iman dan fisiknya pada waktu dan periode yang bersamaan. Maka barangsiapa yang kuat di antara mereka, maka dia dibebani kewajiban yang berat dan mengambil a’zimah (kesulitan). Dan barangsiapa yang lemah di antara mereka, maka dibebani kewajiban yang ringan dan mengambil rukhsah (keringanan). (Al-Mizanu al-Kubra, hal. 3).
Maka ketika dikontekskan ke Indonesia, jika mengucapkan selamat Natal atau hari raya lain tersebut malah menimbulkan pengaburan akidah, maka pendapat berat (qoul musyaddad) harus diterapkan.
Namun jika mengucapkan selamat Natal atau hari raya lain tersebut malah dibutuhkan untuk menjaga perdamaian, menjaga keutuhan Negara Kesatuan RI, maka pendapat yang ringan (qoul mukhaffaf) bisa dipakai, apalagi bagi pejabat, tokoh masyarakat, tetangga yang butuh menjaga perdamaian. Dengan catatan:
1. Mengucapkan Selamat Hari Raya tersebut, disertai ketidakrelaan terhadap ajarannya;
2. Situasi dan kondisi membutuhkan untuk mengucapkan itu baik sebagai pejabat, tokoh masyarakat, tetangga yang butuh menjaga perdamaian dan rasa keadilan bagi sesama.   

Dalam kaidah fikih:

الحاجة قد تنزل منزلة الضرورة

“Kebutuhan kadang menempati keadaan darurat”
Di mana dalam kaidah fikih, kondisi keadaan darurat dapat diperbolehkannya sesuai yang dilarang:
الضرورة تبيح المحظورات
“kedaruratan dapat diperbolehkannya larangan”
Saran kami, ikhtilaf ini bisa menjadikan kita lebih arif dan bijaksana menyikapinya dengan salin menghargai dan menghormati pendapat yang lain walau berbenturan dengan keyakinan kita. Karena menganggap pendapat lain salah bisa menyebabkan perpecahan. Apalagi semua pendapat di atas  adalah hasil ijtihad yang mengandung salah benar, sebagaimana sabda Nabi SAW

عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ” رواه البخاري ومسلم
Apabila seorang hakim menghukumi satu perkara, lalu berijtihad dan benar, baginya dua pahala. Dan apabila ia menghukumi satu perkara, lalu berijtihad dan keliru, baginya satu pahala” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Wallahu a’lamu bi as-Shawab
Sumber: http://duniatimteng.com/hukum-mengucapkan-selamat-natal-bolehkah/

0 komentar:

Post a Comment