PORTALBANDUNG.COM -- Aparat keamanan rezim kudeta Mesir telah menghilangkan secara paksa dan menyiksa ratusan orang selama setahun terakhir sebagai bagian dari upaya membungkam suara oposisi. Hal ini disampaikan Amnesty International dalam rilisnya, Rabu (13/07/2016) seperti dilansir BBC.
Dalam laporannya tersebut, Amnesty International menyebut ratusan orang yang sengaja dhilangkan itu meliputi mahasiswa, aktivis politik, dan demonstran. Di antara korban terdapat bocah berusia 14 tahun.
Sebagian besar ditahan selama berbulan-bulan dan dalam kurun waktu itu mereka ditutup matanya dan diborgol tangannya.
Menurut Direktur Amnesty International di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara, Philip Luther, penghilangan paksa dan penyiksaan telah menjadi “instrumen kunci dalam kebijakan negara” di bawah kepemimpinan Presiden Abdul Fattah al-Sisi dan Menteri Dalam Negeri Magdy Abdul Ghaffar, yang menjabat sejak Maret 2015.
Apabila dirata-rata, aparat Mesir dituding menangkap tiga sampai orang setiap hari. Aksi itu biasanya dilakukan setelah pasukan bersenjata lengkap yang bernaung di bawah Badan Keamanan Nasional (NSA) menyerbu rumah mereka.
Ratusan tahanan diduga ditahan di kantor NSA yang terletak di dalam kompleks Kementerian Dalam Negeri di Alun-Alun Lazoughly, Kairo.
Mazen mengaku dilecehkan secara seksual oleh penginterogasi ketika dirinya membantah tuduhan. Penginterogasi juga menyetrum alat kelaminnya dan bagian tubuhnya yang lain serta mengancam akan menangkap kedua orang tuanya.
Mazen menarik pengakuannya ketika ditanyai jaksa penuntut dan didakwa. Dia dibebaskan dari tahanan pada 31 Januari selagi menunggu persidangan, kata Amnesty.
Lebih dari 1.000 orang telah tewas dibunuh dan 40.000 lainnya diyakini telah dipenjara sejak Presiden Al-Sisi memimpin kudeta militer yang menggulingkan Mohammed Morsi, presiden pertama Mesir yang dipilih secara demokratis, pada 2013.[islamedia/bbc/YL]
Dalam laporannya tersebut, Amnesty International menyebut ratusan orang yang sengaja dhilangkan itu meliputi mahasiswa, aktivis politik, dan demonstran. Di antara korban terdapat bocah berusia 14 tahun.
Sebagian besar ditahan selama berbulan-bulan dan dalam kurun waktu itu mereka ditutup matanya dan diborgol tangannya.
Menurut Direktur Amnesty International di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara, Philip Luther, penghilangan paksa dan penyiksaan telah menjadi “instrumen kunci dalam kebijakan negara” di bawah kepemimpinan Presiden Abdul Fattah al-Sisi dan Menteri Dalam Negeri Magdy Abdul Ghaffar, yang menjabat sejak Maret 2015.
Apabila dirata-rata, aparat Mesir dituding menangkap tiga sampai orang setiap hari. Aksi itu biasanya dilakukan setelah pasukan bersenjata lengkap yang bernaung di bawah Badan Keamanan Nasional (NSA) menyerbu rumah mereka.
Ratusan tahanan diduga ditahan di kantor NSA yang terletak di dalam kompleks Kementerian Dalam Negeri di Alun-Alun Lazoughly, Kairo.
Salah satu kasus yang disoroti Amnesty International adalah yang menimpa bocah berusia 14 tahun, Mazen Mohamed Abdallah. Mazen diambil dari rumahnya di Distrik Nasser City, Kairo, oleh sejumlah petugas NSA pada 30 September. Dia dituding sebagai anggota Ikwanul Muslimin dan berpartisipasi dalam aksi protes tak berizin.
Mazen mengaku dilecehkan secara seksual oleh penginterogasi ketika dirinya membantah tuduhan. Penginterogasi juga menyetrum alat kelaminnya dan bagian tubuhnya yang lain serta mengancam akan menangkap kedua orang tuanya.
Mazen menarik pengakuannya ketika ditanyai jaksa penuntut dan didakwa. Dia dibebaskan dari tahanan pada 31 Januari selagi menunggu persidangan, kata Amnesty.
Lebih dari 1.000 orang telah tewas dibunuh dan 40.000 lainnya diyakini telah dipenjara sejak Presiden Al-Sisi memimpin kudeta militer yang menggulingkan Mohammed Morsi, presiden pertama Mesir yang dipilih secara demokratis, pada 2013.[islamedia/bbc/YL]
Sumber: http://islamedia.id/amnesty-international-praktek-kekerasan-era-rezim-kudeta-mesir-makin-meningkat/
0 komentar:
Post a Comment